MANAKIB MBAH MUTAMAKKIN #2
Pada hakikinya, seorang wali hanya raga-nya saja yang “non-aktif” manakala maut telah datang menghampirinya. Di luar itu, wali Allah tetaplah wali-Nya; yang ruh-nya tetap melanglang buana kemana-mana, meniti mili demi mili pijakan kaki para umat Nabi-Nya, entah itu untuk didoakan atau sekadar diberi petunjuk.
Dengan catatan: itupun kalau jodoh dan ketemu.
***
Hikayatnya yang benar masih temaram, namun sangat diduga kuat bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang sufi-falsafi nyentrik yang hampir pernah divonis mati atas nama fiqih karena melawan otoritas fiqih legal-formal pada masanya; semirip hikayatnya Husein Mansour Al-Hallaj, atau bahkan Kanjeng Syaikh Siti Jenar.
Mbah Bolek, julukan dari Mbah Mutamakkin. Sumohadiwijoyo, adalah gelar keningratan beliau, karena memiliki garis keturunan para raja Jawa dari mulai Kerajaan Majapahit (Brawijaya V) hingga Kesultanan Demak Islam (Raden Fatah)
Dari ayah, beliau memiliki darah Sultan Trenggono bin Sultan Fatah, Raja Pertama Kesultanan Demak Islam, yang tidak lain adalah anak Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Dan dari ibu, beliau dialiri darah nasab dari Sayid Ali Bejagung Tuban Jawa Timur.
Kira-kira rentang kehidupan beliau berada di antara tahun: 1685-1710. Singkat cerita, sepulangnya dari Timur Tengah--yang entah kapan itu--beliau menetap dan tinggal di Cebolek, Pati, hingga wafat dan disemayamkan di Kajen, Margoyoso, Pati.
Nyai Alfiyah Godeg dan Kiai Endro Kusumo adalah Putra Mbah Bolek yang menetap di Kajen. Dan dari mereka lahirlah keturunan kuyaha' (pluralnya kyai) yang membidani banyak pesantren di Pati. Di antaranya adalah Kiai Nawawi yang pada 1900 mendirikan pesantren tertua di Kajen. Saudaranya Kiai Nawawi, yaitu Kiai Abdussalam (Mbah Salam), pada 1910 mendirikan pesantren yang dalam perkembangannya menjadi Ponpes Maslakul Huda (PMH).
Kiai Nawawi memiliki seorang anak bernama Gus Thohir. Kelak, Gus Thohir akan dipondokkan ke Tebuireng, diasuh oleh Kiai Hasyim Asyari. Sementara Kiai Abdussalam melahirkan keturunan Abdullah, yang kemudian dikenal dengan Mbah Dolah Salam, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah
Kiai Bagus adalah anak Mbah Bolek yang berdakwah ke luar Pati. Tepatnya di Jawa Timur. Dari garis Kiai Bagus ini lahirlah keturunan Bernama Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Bisri Syansuri. Kelak, Gus Karim, anak dari Kiai Hasyim Asyari, akan dipondokkan ke Kajen, diasuh Kiai Nawawi.
***
Baik Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Bisri Syansuri adalah keturunan Mbah Mutamakkin dari Kiai Bagus. Dua-duanya tidak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama, dan kakek daripada Abdurrahman Ad-Dakhil, atau yang dikenal dengan nama: #GusDur.
#GusDur sering ke Kajen. Manakala #GusDur menuju Jombang melewati Pantai Utara, beliau pasti menyempatkan diri untuk mampir ke Kajen.
Suatu ketika #GusDur mengabari #GusMus bin Kiai Bisri Mustofa Rembang bahwa dirinya akan ke Kajen untuk menemui 2 (dua) orang kiai: Mbah Mutamakkin dan Mbah Dolah Salam. #GusMus dimohon untuk mengabarkan rencananya ini kepada Kiai Dolah salam.
#GusMus pun ke Kajen. Setelah tanya kesehatan dan keluarga, #GusMus pun menyampaikan rencana #GusDur.
“Wah, Durahman (panggilan #GusDur) sepertinya akan sulit bertemu Mbah Mutamakkin.” Tandas Mbah Dolah Salam kepada #GusMus.
Belum sampai jawaban Mbah Dolah diteruskan #GusMus kepada #GusDur (mungkin #GusMus sengaja, atau barangkali lupa), tibalah hari dimana #GusDur menginjakkan kaki ke Pati.
Bersama istri, #GusDur pun langsung ke kediaman Mbah Dolah Salam.
“Lho, katanya ziarah ke makamnya Mbah Mutamakkin dulu? Kok malah langsung ke nDalem Mbah Dollah?” tanya Nyai Nur, istri #GusDur.
#GusDur pun menjawab singkat:
“Mbah Mutamakkin gak ada. Sedang ‘dinas’ keluar.”
Perjalanan yang belum jodoh.
***
Lahum Al-Fatihah
(Dari berbagai sumber/Rumail Abbas)